Blogger Templates

07 January 2014

KONSEKUENSI ORANG BERIMAN

KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarâkatuh.
Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. pembawa rahmat bagi semesta alam.
Makalah ini mengangkat judul tentang “KONSEKUENSI ORANG BERIMAN” yang didalamnya terdapat pembahasan tentang orang beriman meliputi pengertian iman, hal-hal yang dapat merusaknya serta konsekuensi-konsekuensinya. Dilengkapi dengan dalil-dalil dari hadis dan firman-firman Allah SWT. Saya mengambil dari beberapa sumber seperti dari Al-Qur’an, buku hadis, buku Agama dan dari artikel-artikel di internet.
Makalah ini dibuat bertujuan agar mendorong semua Muslim untuk lebih meningkatkan keimanannya. Karena kehidupan di dunia ini adalah singkat saja dan kematian serta pengadilan adalah dekat, berkaitan dengan iman ini tidak memungkinkan adanya rasa putus asa dan kekecewaan serta memberikan energi yang segar untuk melakukan amal-amal kebajikan satu demi satu, siang dan malam.
Saya juga memohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan semua  kesalahan itu datangnya dari saya karena manusia itu tidak luput dari kesalahan dan kesempurnaan itu datangnya dari Allah SWT. Harapan saya semoga makalah ini dapat berguna bagi pembacanya. Amîn. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullâhi Wabarâkatuh.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................      1
DAFTAR ISI ..............................................................................     2
A.   PENDAHULUAN .....................................................................      3
1.     Pengertian iman ...............................................................       3
2.     Perbedaan iman hakiki dan iman taqlidi .........................       4
3.     Cara mendapatkan manfaat iman ....................................      5
4.     Hal-hal yang dapat merusak iman ...................................       5
B.   PEMBAHASAN ........................................................................      7
1.     Al-Muraqabah (mengintip kebajikan) .............................       7
2.     Al-Mu’awanah (tolong menolong) ..................................        7
3.     Al-Barra (toleransi kepada Kafir yang tidak memusuhi
 Islam) .............................................................................       10
4.     Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib menyerahkan diri kepada Allah secara total) ................................................ 11
C.   KESIMPULAN ..........................................................................      14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................      16








A.  PENDAHULUAN
1.     Pengertian iman
Secara harfiah, iman berasal dari bahasa Arab, yang mengandung arti faith (kepercayaan), dan belief (keyakinan).[1] Iman juga berarti kepercayaan (yang berkenaan dengan agama), yakin percaya kepada Allah, keteguhan hati, keteguhan batin.[2] Ibn Katsir menjelaskan bahwa iman ialah pengakuan dengan (dalam hati), ikrar lidah dan amalan anggota tubuh. Tegasnya, iman menurut batasan syara’ ialah memadukan ucapan dengan pengakuan hati dan perilaku. Dengan lain perkataan mengikrarkan dengan lidah akan kebenaran Islam, membenarkan yang diikrarkan itu dengan hati dan tercemin dalam perilaku hidup sehari-hari dalam bentuk amal perbuatan. Menurut Ibn as-Shalah, iman mencakup apa yang termasuk dalam rumusan Islam, bahkan iman mencakup pula semua jenis taat. Sebab taat adalah produk dari keyakian (tashdiq) yang menjadi dasar iman.
Dalam Islam, iman atau kepercayaan yang bisa selanjutnya disebut ‘aqidah bersumberkan Al-Qur’an dan merupakan segi teoretis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh persangkaan.[3] Selain itu, dilihat dari segi sasarannya atau objek yang diimaninya, yaitu hanya Allah SWT semata, maka keimanan tersebut dinamai tauhid yang berarti mengesakan Allah SWT semata. Selanjutnya, keimanan tersebut disebut dengan ushul al-din (pokok-pokok agama), karena keimanan tersebut menduduki tempat yang utama dalam struktur ajaran Islam.
Abu Thalib al-Makki dalam Qut al-Qulub mengatakan : “Amal adalah bagian dari iman. Tidak sempurna iman tanpa amal. Amal dan iman adalah saudara kembar. Tidak sah yang satu tanpa yang satu lagi. Keduanya bersama-sama juga tidak sah tanpa meniadakan kufur yang menjadi lawannya. Tuhan mensyaratkan amal saleh untuk iman dan menganggapnya tidak berguna iman kecuali dengan adanya amal. Syarat iman aialah amal dan takwa serta juga amal saleh.”[4]
Dari golongan Sunni : Malik, as-Syafi’i, al-Auza’i, Ahmad Ishaq, Ahl al-Madinah, Ahl ad-Dhahir dan seluruh ulama hadis dan dari para mutakallimin, al-Harits, al-Muhasibi, Abul Abbas al-Qalanisi, Abu Ali ats-Tsaqafi, Abul Hasan at-Thabari berpendapat bahwa : “Sesungguhnya setinggi-tingginya iman ialah makrifah hati, ikrar lidah dan amal anggota tubuh. Iman dapat bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat.”[5]
Akan tetapi perlu diingat bahwa walaupun amalan anggota tubuh adalah bagian dari iman, namun karena bobot amal anggota itu bertingkat-tingkat, maka ada di antara anggota yang dapat merusakkan iman tanpa dia, tetapi juga ada yang tidak merusakkannya. Misalnya, kepala dan tangan adalah sama-sama bagian tubuh manusia, akan tetapi orang tidak lagi mempunyai wujud insaniyah tanpa kepala, sedangkan tanpa tangan, paling-paling hanya dikatakan cacat.
2.     Perbedaan iman hakiki dan iman taqlidi
Ditinjau dari cara tumbuhnya iman, maka iman dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu : [1] iman hakiki; dan [2] iman taqlidi, atau pura-pura (shuri). Iman hakiki ialah iman yang tumbun karena kesadaran atas dasar pengetahuan. Iman dalam kategori ini adalah iman yang teguh karena terhujam jauh ke dalam lubuk hati. Iman yang seperti inilah yang dimaksud sebagai kebajikan dan pangkal kebaktian yang kerap kali tersebut di dalam al-Qur’an. Antara lain ialah :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِروَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّين... )سورة البقرة ١٧٧)
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (QS. Al-Baqarah (2):177).

Didalam ayat yang tersebut di atas Allah menerangkan bahwa beriman akan Allah dan seterusnya itu adalah pangkal kebajikan. Akan tetapi dia baru menjadi sendi dan asas kebajikan jika dia tertanam kukuh didalam hati yang disertai oleh taat dan khudlu’. Ucapan lidah semata walaupun disertai oleh sanjungan dan pujian bahwa Islam adalah agama yang paling tinggi, hafal atau Syarah Sanusi dan sebagainya, belumlah menjadi pangkal kebaktian jika tidak disertai oleh keyakinan teguh dalam hati.
Adapun iman taqlidi atau iman ikut-ikutan yang beriman karena lingkungan tidak akan mampu menjadi motor pendorong untuk melahirkan sikap dan tindakan seperti yang dituntut oleh iman hakiki sebagaimana terlihat dalam firman Allah :
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ. وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ . )سورة النور ٤٨-٤٩(
Artinya :Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.” (QS. An-Nur (24):48-49).
Tegasnya, iman hakiki mampu menguasai jiwa, mengendalikan hawa nafsu angkara murka, sehingga menjadi sumber kekuatan untuk melahirkan amal perbuatan bajik yang menjadi amal saleh baginya. Iman yang benar dan hakiki, ialah dengan cara mengenal agama dengan baik dan pengetahuan itu berdasarkan kepercayaan yang mempengaruhi akal, yang memberi bekas pada diri, menjadi hakim atau kemauan sendiri.
3.     Cara mendapatkan manfaat iman
            Manfaat iman baru dapat dirasakan jika seseorang telah memenuhi tiga syarat seperti tersebut dalam riwayat Anas ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda : “Ada tiga syarat yang jika ketiga syarat itu terpenuhi barulah seseorang merasakan kelezatan iman : [1] telah dapat mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala yang lain; [2] mencintai sesama manusia semata-mata karena Allah; [3] benci kembali kepada kufur seperti benci masuk ke neraka.”[6]
            Atau seperti yang terrekam dalam sabda Nabi Muhammad saw. Menurut riwayat Ibn Abbas : “Kelezatan iman dirasakan oleh orang yang telah meridai Allah menjadi Tuhan-nya, meridai Islam menjadi agamanya dan meridai Muhammad menjadi nabinya.[7]
4.     Hal-hal yang dapat merusak iman
            Iman dapat menjadi rusak walaupun hati masih percaya dan anggota tubuh masih beramal, bila dengan suka rela bersujud kepada berhala, menghina atau mendustakan sesuatu yang dimuliakan oleh Agama seperti Asma Allah, al-Qur’an, Rasul, Hadis Rasul yang sahih dan hukum agama yang jelas, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Orang yang melakukan seluruhnya atau sebagiannya dari hal-hal terlarang ini dihukum kufur dan murtad serta akan kekal di neraka, kecuali jika dia bertaubat. Allah Maha Pengampun.
Dalam kitab Ma la Budda Minhu disebutkan ada dua pulu dua perkara yang dapat merusakkan iman atau tauhid, yaitu :
1.      Bermantera yang bukan dengan ayat al-Qur’an dan menggunakan jimat.
2.      Memuja pepohonan, batu dan sebagainya, atau memohon berkat darinya.
3.      Membuat sesajian atau mempersembahkan kurban kepada yang selain dari Allah.
4.      Bernazar kepada yang selain Allah.
5.      Memohon perlindungan kepada yang selain Allah.
6.      Meminta tolong kepada yang selain Allah.
7.      Meminta syafaat kepada yang selain Allah.
8.      Memuja orang-orang saleh yang sering disebut wali.
9.      Shalat di sisi sebuah kubur.
10.  Bersihir dan menenung.
11.  Melihat nasib atau membuang sial.
12.  Memastikan turunnya hujan, memalui ramalan bintang.
13.  Mencintai dan takut kepada yang selain Allah seperti mencintai dan takut kepada Allah.
14.  Melakukan sesuatu perbuatan semata karena riya dan dunia.
15.  Mentaati ulama atau umara yang berakibat durhaka kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.
16.  Memperserikatkan Allah.
17.  Bersumpah dengan yang selain Allah.
18.  Menyamakan kehendak Allah dengan kehendak makhluk.
19.  Menyesali dan memaki waktu.
20.  Menggelari diri dengan qadhil qudlah.
21.  Mengolok-olok sesuatu yang padanya ada sebutan Allah.
22.  Meminta syafaat (istisyfa’) kepada makhluk dengan menjadikan Allah sebagai perantara.


B.   PEMBAHASAN
Banyaknya konsekuensi orang beriman yang dijelaskan dalam Al-Quran dan sunnah itu, antara lain sebagai berikut :
1.     Al-Muraqabah (mengintip kebajikan)
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ.( سورة الشرح ٧)
Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS.Al-Insyirah (94): 7).
Muraqabah makna asalnya adalah saling memperhatikan atau saling mengintai. Namun dalam ilmu tashauf muraqabah di artikan memperhatikan kepada kebesaran Allah dengan cara mengintip waktu yang berharga dan utama untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya agar meraih pahala yang berlipat ganda. Artinya umat islam beriman tidak berani mengosongkan waktunya atau menggunakan waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat. Bahkan semua waktunya di gunakan untuk beribadah kepada Allah. Mana waktu yang paling utama dan bagaimana cara mengejarnya. Karena itu umat islam yang beriman, jika sudah selesai mengerjakan ibadah yang satu maka  ia mengerjakan ibadah yang lainnya.
            Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi yang menerangkan tentang ancaman-ancaman bagi seseorang yang senantiasa menggunakan waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat dan juga membiarkan lidah terjerumus pada pembicaraan-pembicaraan yang sia-sia tanpa ada manfaat yang dapat diambil darinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ.
 (سورة المؤمنون  ١-٣)
Artinya :”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”(QS. Al-Mu’minuun (23) : 1-3).
2.     Al-Mu’awanah (tolong menolong)
Mu’awanah makna asalnya adalah saling tolong menolong. Namun makna dalam istilah, mu’awanah artinya tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa dan tidak saling tolong-menolong di jalan kejahatan dan kemaksiatan. Tolong-menolong bagi orang muslim beriman akan di berikan pahalanya dengan sifat-sifat terpuji lainnya.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. (سورة المائدة ٢)
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah” (QS.Al-Maidah (5): 2).
Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah SWT mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah SWT. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah SWT dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[8]
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah saw bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ .(رواه البخا ري)
Artinya : “Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.”.” (HR. al-Bukhâri)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Artinya : “Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[9]
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.[10] Iman mendorong manusia melakukan amal saleh, yaitu perasaan, pikiran dan perbuatan yang baik menurut Allah, Rasul dan pendapat akal sehat manusia dan bermanfaat bagi umat manusia. Iman yang demikian inilah yang sesungguhnya dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Al-Sunah. Didalam Al-Qur’an, setiap kata iman selalu dibarengin dengan amal saleh. Allah SWT misalnya berfirman :
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. ( سورة العصر ١-٣)
Artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(QS. Al-Ashr (103):1-3).
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. (سورة البقرة ٢٥)
Artinya :“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al-Baqarah (2):25).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا. (سورة الكهف ١٠٧)
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi (18):107).

Didalam Hadis Rasulullah SAW juga dijumpai informasi tentang iman yang dihubungkan dengan amal saleh. Misalnya Hadis sebagai berikut :
ليس الؤمن الذ ي يشبح وجاره جا ئح. (الأدب الفرد)
Artinya :“Tidaklah disebut sebagai orang yang beriman, orang yang perutnya kenyang, sedangkan tetangganya berada dala kelaparan.”(Al-Adab al-Mufrad).

الحيا ء من الإيما ن. (رواه البخا ري)
Artinya : “Bahwa rasa malu (berbuat buruk) adalah bagian daripada iman.”
(HR. al-Bukhâri).


3.     Al-Barra (toleransi kepada Kafir yang tidak memusuhi Islam)
Dalam redaksi hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ)
Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.”[11]
Pada teks hadis di atas tampak jelas bahwa sebaik-baik insan Muslim adalah dia yang terbaik mu’amalah (hubungan sosialnya) dengan semua tetangganya, baik tetangga Muslim maupun non Muslim. Mereka semua harus mendapatkan sentuhan kasih sayang dan kedamaian. Itulah sebabnya, sejarah membuktikan bahwa banyak unsur masyarakat yang berdampingan secara damai dengan Rasulullah, sebelum Madinah dinyatakan sebagai tanah haram (yang tidak boleh dihuni kecuali oleh Muslim). Rasulullah SAW kala itu bahkan bertetangga dengan orang Yahudi, Nasrani, dan lain-lain secara damai.
Di samping menjalin kemesraan dengan non Muslim, Rasulullah SAW juga mengadakan kontak dagang dengan non Muslim. Bahkan, menurut keterangan sebuah hadis, Nabi SAW sempat meminjam barang kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya. Klimaks dari toleransi itu tercatat dalam hadis bahwa Rasulullah SAW melarang umatnya untuk menyakiti kafir dzimmi, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ .(أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ فِي تَارِيخِ بَغْدَادٍ)
Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.” Hadis ini diriwayatkan Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Bagdad: 8/370. Hadis ini juga memiliki dua jalur sanad yang sama-sama lemah.
Dari paparan di atas, tampak begitu mulianya ajaran Islam di mata internal umat Islam maupun non Muslim. Ibarat lebah, sekiranya orang tidak menganggunya tentu dia akan dapat menikmati madunya. Namun sekiranya ada orang yang mengganggunya jangan disalahkan apabila ia menyengat bahkan mematikan.Itulah gambaran kehadiran umat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rahmat atau kasih saying itu tidak hanya dirasakan umat Islam, tapi non Muslim pun juga ikut merasakannya.
Maka hati-hati memahami hadis yang sekilas dapat difahami keliru sehingga mengidentikkan Islam sebagai teroris, seperti ‘menghabisi’ non Muslim di jalanan dan lainnya. Seharusnya hadis-hadis seperti ini difahami secara proporsional. Kajian hadis di Barat diwarnai dengan teks-teks seperti di atas secara parsial, sehingga Islam tidak pernah difahami sebagai agama pembawa rahmat (kasih sayang).
Allah SWT membolehkan kepada umat Islam untuk toleransi dengan mereka yang berbeda keyakinan (non muslim) yang berbuat baik kepada Islam dan umatnya. Namun, Allah SWT secara tegas melarang umat Islam toleransi dengan orang kafir yang melakukan tiga hal :
1.      Tidak ada toleran kepada orang kafir yang telah mengusir umat Islam dari kampung halamannya (negara umat Islam) seperti negara Palestina, misalnya.
2.      Tidak ada toleran kepada orang kafir yang sudah terang-terangan memerangi Islam dan umatnya baik dengan membunuh secara fisik kepada umat Islam atau dengan cara-cara lain yang sudah merusak aqidah Islam.
3.      Tidak ada toleran kepada orang kafir yang telah bersekutu atau meminta bantuan dengan sesama orang kafir atau sesama muslim yang zalim untuk menghancurkan Islam dan umatnya.

4.     Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib menyerahkan diri kepada Allah secara total)
Seorang beriman wajib berserah diri atau bertawakkal kepada Allah SWT karena dengan sebab menyerahkan diri dan tawakkal kepada-Nya seseorang dapat meningkatkan keimanannya dan meraih sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Seorang muslim beriman juga wajib menerima segala aturan-aturan yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.” Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.”[12]
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha. Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انفِرُوا جَمِيعًا. (سورة النساء ٧١)
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!”
(QS. An-Nisa (4): 71).
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ. (سورة الأنفال ٦٠)
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.”
(QS. Al-Anfaal (8): 60).
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. (سورة الجمعة ١٠)
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah (62): 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan.[13]
Dari Umar bin Al Khaththab ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310).
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi saw telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. [14]
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki.[15]












C.  KESIMPULAN
Dengan keempat ciri tersebut, maka orang yang beriman adalah orang yang dapat disebut sebagai mukmin, dan bukan hanya aamanu. Jika baru aamanu, seperti terdapat pada Al-Qur’an yang menyeru orang-orang yang beriman (yaa ayyuhal ladzina aamanu), maka ia baru mengakui dan membenarkan adanya Allah SWT, maka pada panggilan mu’minun, maka ia telah melaksanakan nilai-nilai keimanan dalam hati, pikiran, perasaan, jiwa dan tindakannya, dan iman tersebut benar-benar telah mentransformasi ke dalam dirinya. Dari pembahasan diatas kita dapat tarik kesimpulan dari point-point yang sudah dijelaskan diantaranya :
1.      Al-Muraqabah (mengintip kebajikan)
            Seorang muslim sejati adalah insan yang tak pernah main-main dalam kehidupannya, dia adalah seorang yang suka berdzikir setiap saat dan senantiasa menjaga lidahnya dari ucapan yang tidak ada manfaatnya. Dan juga senantiasa menggunakan setiap waktu yang terluang dengan pekerjaan yang sangat memuaskan hasilnya tanpa berhura-hura dengan waktu setiap detiknya.
2.      Al-Mu’awanah (tolong menolong)
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[16] Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.[17]
3.      Al-Barra (toleransi kepada Kafir yang tidak memusuhi Islam)
Mencintai diri sendiri tidaklah cukup untuk menggambarkan kualitas keimanan seseorang, melainkan juga harus dibuktikan dengan mencintai semua tetangganya. Kata “tetangga” dalam teks hadis ini cakupannya bersifat umum, yakni tetangga sesama Muslim atau tetangga non Muslim. Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW tidak hanya bertetangga dengan Muslim namun beliau juga bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar Madinah kala itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka sama-sama mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga punya hak untuk mendapatkan kedamaian.
4.      Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib menyerahkan diri kepada Allah secara total)
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasullulah serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.( سورة الأنفال ٢-٤)
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
(QS. Al-Anfaal (8):2-4).











DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad Tuasikal. Tawakal yang Sebenarnya. http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/tawakal-yang-sebenarnya.html. Diakses pada tanggal 29 Desember 2013.
Bahreisj, Hussein. Hadits Shahih Al- Jamius Shahih Bukhari-Muslim. Surabaya : CV Karya Utama.
Hasyim, Badruddin Subky. (2013). Aqidah Islam & Virus-virusnya yang Merusak Iman.Bogor : Universitas Ibn Khaldun Bogor.
KEMENTERIAN AGAMA RI. (2012). AL-QUR’AN DAN TERJEMAHNYA. Jakarta : PT. Sinergi Pustaka Indonesia
Minhal, Abu. Perintah Untuk Saling Menolong Dalam Mewujudkan Kebaikan Dan Ketakwaan. http://almanhaj.or.id/content/2800/slash/0/perintah-untuk-saling-menolong-dalam-mewujudkan-kebaikan-dan-ketakwaan/. Diakses pada tanggal 29 Desember 2013.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy. AL ISLAM. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
MZ, Zainuddin. Mengupas Hadis-Hadis Tentang Toleransi. www.majalahgontor.net/ index.php?option=com_content&view=article&id=412:mengupas-hadis-hadis -tentang-toleransi&catid=53:hadits&Itemid=110. Diakses pada tanggal 12 Desember 2013.
Nata, Abuddin. (2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
MZ, Labib. Taqwa jalan menuju sukses. Surabaya : Bintang Usaha Jaya.





[1] Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Op. Cit., hlm. 20.
[2] Lihat W.J.S. Peoerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hlm. 375.
[3] Lihat Nasaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1977), cet. II, hlm. 119.
[4] Dikutip dari Syarh Ihya, II:254.
[5] Syarh Ihya, II:254.
[6] Riwayat Bukhari; lihat, Shahih Bukhari, I:1
[7] Riwayat Ahmad, Muslim, dan at-Tirmizi; lihat, al-Ausath, jami’ Shaghir, II:4
[8] Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45.
[9] Ibid, hlm. 57.
[10] ar-Risâlah at-Tabûkiyyah, hlm. 57.
[11] Riwayat Ahmad: 6566, Turmudzi: 1944, Ibnu Hibban: 518, Hakim: 1620, Baihaqi: lihat, Syu’abul Iman, 9541, Sa’id bin Manshur: 2388, ad-Darimi: 2437, Bukhari: lihat, al-Adab al-Mufrad: 115, dan Ibnu Khuzaimah: 2539.
[12] Lihat Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam, No. 49.
[13] Lihat Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam
[14] Lihat Maktabah Syamilah, Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69.
[15] Lihat Maktabah Syamilah, Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8.
[16] Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 182
[17] ar-Risâlah at-Tabûkiyyah, hlm. 57

No comments:

Post a Comment