KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarâkatuh.
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarâkatuh.
Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
pembawa rahmat bagi semesta alam.
Makalah ini mengangkat judul tentang “KONSEKUENSI
ORANG BERIMAN” yang didalamnya terdapat pembahasan tentang orang beriman
meliputi pengertian iman, hal-hal yang dapat merusaknya serta
konsekuensi-konsekuensinya. Dilengkapi dengan dalil-dalil dari hadis dan
firman-firman Allah SWT. Saya mengambil dari beberapa sumber seperti dari
Al-Qur’an, buku hadis, buku Agama dan dari artikel-artikel di internet.
Makalah ini dibuat bertujuan agar mendorong semua
Muslim untuk lebih meningkatkan keimanannya. Karena kehidupan di dunia ini
adalah singkat saja dan kematian serta pengadilan adalah dekat, berkaitan
dengan iman ini tidak memungkinkan adanya rasa putus asa dan kekecewaan serta
memberikan energi yang segar untuk melakukan amal-amal kebajikan satu demi
satu, siang dan malam.
Saya juga memohon maaf jika ada kesalahan dalam
penulisan dan semua kesalahan itu
datangnya dari saya karena manusia itu tidak luput dari kesalahan dan
kesempurnaan itu datangnya dari Allah SWT. Harapan saya semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembacanya. Amîn. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullâhi Wabarâkatuh.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................... 1
DAFTAR
ISI .............................................................................. 2
1.
Pengertian iman ............................................................... 3
2.
Perbedaan iman hakiki dan iman taqlidi
......................... 4
3.
Cara mendapatkan manfaat iman .................................... 5
4.
Hal-hal yang dapat merusak iman ................................... 5
B.
PEMBAHASAN ........................................................................ 7
1.
Al-Muraqabah (mengintip kebajikan) ............................. 7
2.
Al-Mu’awanah (tolong menolong) .................................. 7
3.
Al-Barra
(toleransi kepada Kafir yang tidak memusuhi
Islam) ............................................................................. 10
4.
Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib menyerahkan diri kepada Allah secara total)
................................................ 11
C.
KESIMPULAN .......................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
................................................................ 16
A.
PENDAHULUAN
1.
Pengertian iman
Secara harfiah,
iman berasal dari bahasa Arab, yang mengandung arti faith (kepercayaan),
dan belief (keyakinan).[1]
Iman juga berarti kepercayaan (yang berkenaan dengan agama), yakin percaya
kepada Allah, keteguhan hati, keteguhan batin.[2]
Ibn Katsir menjelaskan bahwa iman ialah pengakuan dengan (dalam hati), ikrar
lidah dan amalan anggota tubuh. Tegasnya, iman menurut batasan syara’ ialah
memadukan ucapan dengan pengakuan hati dan perilaku. Dengan lain perkataan
mengikrarkan dengan lidah akan kebenaran Islam, membenarkan yang diikrarkan itu
dengan hati dan tercemin dalam perilaku hidup sehari-hari dalam bentuk amal
perbuatan. Menurut Ibn as-Shalah, iman mencakup apa yang termasuk dalam rumusan
Islam, bahkan iman mencakup pula semua jenis taat. Sebab taat adalah produk
dari keyakian (tashdiq) yang menjadi
dasar iman.
Dalam Islam, iman
atau kepercayaan yang bisa selanjutnya disebut ‘aqidah bersumberkan
Al-Qur’an dan merupakan segi teoretis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu
dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh
dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh persangkaan.[3]
Selain itu, dilihat dari segi sasarannya atau objek yang diimaninya, yaitu
hanya Allah SWT semata, maka keimanan tersebut dinamai tauhid yang berarti
mengesakan Allah SWT semata. Selanjutnya, keimanan tersebut disebut dengan ushul
al-din (pokok-pokok agama), karena keimanan tersebut menduduki tempat yang
utama dalam struktur ajaran Islam.
Abu Thalib al-Makki
dalam Qut al-Qulub mengatakan : “Amal adalah bagian dari iman. Tidak sempurna
iman tanpa amal. Amal dan iman adalah saudara kembar. Tidak sah yang satu tanpa
yang satu lagi. Keduanya bersama-sama juga tidak sah tanpa meniadakan kufur
yang menjadi lawannya. Tuhan mensyaratkan amal saleh untuk iman dan
menganggapnya tidak berguna iman kecuali dengan adanya amal. Syarat iman aialah
amal dan takwa serta juga amal saleh.”[4]
Dari golongan Sunni
: Malik, as-Syafi’i, al-Auza’i, Ahmad Ishaq, Ahl al-Madinah, Ahl ad-Dhahir dan
seluruh ulama hadis dan dari para mutakallimin, al-Harits, al-Muhasibi, Abul
Abbas al-Qalanisi, Abu Ali ats-Tsaqafi, Abul Hasan at-Thabari berpendapat bahwa
: “Sesungguhnya setinggi-tingginya iman ialah makrifah hati, ikrar lidah dan
amal anggota tubuh. Iman dapat bertambah dengan taat dan berkurang dengan
maksiat.”[5]
Akan tetapi perlu
diingat bahwa walaupun amalan anggota tubuh adalah bagian dari iman, namun
karena bobot amal anggota itu bertingkat-tingkat, maka ada di antara anggota
yang dapat merusakkan iman tanpa dia, tetapi juga ada yang tidak merusakkannya.
Misalnya, kepala dan tangan adalah sama-sama bagian tubuh manusia, akan tetapi
orang tidak lagi mempunyai wujud insaniyah
tanpa kepala, sedangkan tanpa tangan, paling-paling hanya dikatakan cacat.
2.
Perbedaan iman hakiki dan iman taqlidi
Ditinjau dari cara
tumbuhnya iman, maka iman dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu : [1] iman
hakiki; dan [2] iman taqlidi, atau pura-pura (shuri). Iman hakiki ialah iman yang tumbun karena kesadaran atas
dasar pengetahuan. Iman dalam kategori ini adalah iman yang teguh karena
terhujam jauh ke dalam lubuk hati. Iman yang seperti inilah yang dimaksud
sebagai kebajikan dan pangkal kebaktian yang kerap kali tersebut di dalam
al-Qur’an. Antara lain ialah :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن
تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِروَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّين... )سورة
البقرة ١٧٧)
Artinya : “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (QS. Al-Baqarah (2):177).
Didalam ayat yang tersebut di atas Allah menerangkan
bahwa beriman akan Allah dan seterusnya itu adalah pangkal kebajikan. Akan
tetapi dia baru menjadi sendi dan asas kebajikan jika dia tertanam kukuh
didalam hati yang disertai oleh taat dan khudlu’. Ucapan lidah semata
walaupun disertai oleh sanjungan dan pujian bahwa Islam adalah agama yang
paling tinggi, hafal atau Syarah Sanusi dan sebagainya, belumlah menjadi
pangkal kebaktian jika tidak disertai oleh keyakinan teguh dalam hati.
Adapun iman taqlidi
atau iman ikut-ikutan yang beriman karena lingkungan tidak akan mampu menjadi
motor pendorong untuk melahirkan sikap dan tindakan seperti yang dituntut oleh
iman hakiki sebagaimana terlihat dalam firman Allah :
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ. وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا
إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ . )سورة النور ٤٨-٤٩(
Artinya :“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya,
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari
mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan)
mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.” (QS. An-Nur (24):48-49).
Tegasnya, iman
hakiki mampu menguasai jiwa, mengendalikan hawa nafsu angkara murka, sehingga
menjadi sumber kekuatan untuk melahirkan amal perbuatan bajik yang menjadi amal
saleh baginya. Iman yang benar dan hakiki, ialah dengan cara mengenal agama
dengan baik dan pengetahuan itu berdasarkan kepercayaan yang mempengaruhi akal,
yang memberi bekas pada diri, menjadi hakim atau kemauan sendiri.
3.
Cara mendapatkan manfaat iman
Manfaat iman
baru dapat dirasakan jika seseorang telah memenuhi tiga syarat seperti tersebut
dalam riwayat Anas ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda : “Ada tiga syarat yang jika
ketiga syarat itu terpenuhi barulah seseorang merasakan kelezatan iman : [1]
telah dapat mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala yang lain; [2]
mencintai sesama manusia semata-mata karena Allah; [3] benci kembali kepada
kufur seperti benci masuk ke neraka.”[6]
Atau
seperti yang terrekam dalam sabda Nabi Muhammad saw. Menurut riwayat Ibn Abbas
: “Kelezatan iman dirasakan oleh orang yang telah meridai Allah menjadi
Tuhan-nya, meridai Islam menjadi agamanya dan meridai Muhammad menjadi nabinya.[7]
4.
Hal-hal yang dapat merusak iman
Iman
dapat menjadi rusak walaupun hati masih percaya dan anggota tubuh masih
beramal, bila dengan suka rela bersujud kepada berhala, menghina atau
mendustakan sesuatu yang dimuliakan oleh Agama seperti Asma Allah, al-Qur’an,
Rasul, Hadis Rasul yang sahih dan hukum agama yang jelas, menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Orang yang melakukan seluruhnya atau
sebagiannya dari hal-hal terlarang ini dihukum kufur dan murtad serta akan
kekal di neraka, kecuali jika dia bertaubat. Allah Maha Pengampun.
Dalam kitab Ma
la Budda Minhu disebutkan ada dua pulu dua perkara yang dapat merusakkan
iman atau tauhid, yaitu :
1.
Bermantera yang bukan dengan ayat al-Qur’an dan menggunakan jimat.
2.
Memuja pepohonan, batu dan sebagainya, atau memohon berkat darinya.
3.
Membuat sesajian atau mempersembahkan kurban kepada yang selain dari Allah.
4.
Bernazar kepada yang selain Allah.
5.
Memohon perlindungan kepada yang selain Allah.
6.
Meminta tolong kepada yang selain Allah.
7.
Meminta syafaat kepada yang selain Allah.
8.
Memuja orang-orang saleh yang sering disebut wali.
9.
Shalat di sisi sebuah kubur.
10. Bersihir dan menenung.
11. Melihat nasib atau membuang sial.
12. Memastikan turunnya hujan, memalui ramalan bintang.
13. Mencintai dan takut kepada yang selain Allah seperti
mencintai dan takut kepada Allah.
14. Melakukan sesuatu perbuatan semata karena riya dan
dunia.
15. Mentaati ulama atau umara yang berakibat durhaka kepada
Allah, menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang dihalalkan
oleh Allah.
16. Memperserikatkan Allah.
17. Bersumpah dengan yang selain Allah.
18. Menyamakan kehendak Allah dengan kehendak makhluk.
19. Menyesali dan memaki waktu.
20. Menggelari diri dengan qadhil qudlah.
21. Mengolok-olok sesuatu yang padanya ada sebutan Allah.
22. Meminta syafaat (istisyfa’) kepada makhluk dengan
menjadikan Allah sebagai perantara.
B.
PEMBAHASAN
Banyaknya
konsekuensi orang beriman yang dijelaskan dalam Al-Quran dan sunnah itu, antara
lain sebagai berikut :
1. Al-Muraqabah (mengintip kebajikan)
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ.( سورة الشرح ٧)
Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
(QS.Al-Insyirah (94): 7).
Muraqabah makna asalnya adalah saling memperhatikan
atau saling mengintai. Namun dalam ilmu tashauf muraqabah di artikan
memperhatikan kepada kebesaran Allah dengan cara mengintip waktu yang berharga
dan utama untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya agar meraih pahala yang berlipat
ganda. Artinya umat islam beriman tidak berani mengosongkan waktunya atau menggunakan waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang
tidak bermanfaat. Bahkan semua waktunya di gunakan untuk
beribadah kepada Allah. Mana waktu yang paling utama dan bagaimana cara mengejarnya. Karena itu umat islam yang beriman, jika
sudah selesai mengerjakan ibadah yang satu maka
ia mengerjakan ibadah yang lainnya.
Banyak
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi yang menerangkan tentang
ancaman-ancaman bagi seseorang yang senantiasa menggunakan waktunya dengan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat dan juga membiarkan lidah terjerumus
pada pembicaraan-pembicaraan yang sia-sia tanpa ada manfaat yang dapat diambil
darinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ
خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ.
(سورة المؤمنون ١-٣)
(سورة المؤمنون ١-٣)
Artinya :”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”(QS.
Al-Mu’minuun (23) : 1-3).
2.
Al-Mu’awanah (tolong menolong)
Mu’awanah makna asalnya adalah saling tolong menolong. Namun makna
dalam istilah, mu’awanah artinya tolong menolong dalam kebaikan dan
taqwa dan tidak saling tolong-menolong di jalan kejahatan dan kemaksiatan.
Tolong-menolong bagi orang muslim beriman akan di berikan pahalanya dengan
sifat-sifat terpuji lainnya.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. (سورة المائدة ٢)
Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah” (QS.Al-Maidah (5): 2).
Al-Mâwardi
rahimahullah berkata: Allah SWT mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan
dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan,
terkandung ridha Allah SWT. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan
menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah SWT dan ridha
manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah
melimpah.[8]
Sebagai contoh
sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah saw bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا
أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ
نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ .(رواه البخا ري)
Artinya : “Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang
berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah,
kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang
berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman.
Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.”.” (HR. al-Bukhâri)
Dalam hadits lain, Rasulullah
saw bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ
كَفَا عِلِهِ
Artinya : “Orang yang menunjukkan (sesama) kepada
kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Kewajiban pertama
(antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat,
perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara
seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut
dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[9]
Hendaknya ini
dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam
menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik
secara pemahaman maupun pengamalan.[10] Iman
mendorong manusia melakukan amal saleh, yaitu perasaan, pikiran dan perbuatan
yang baik menurut Allah, Rasul dan pendapat akal sehat manusia dan bermanfaat
bagi umat manusia. Iman yang demikian inilah yang sesungguhnya dikehendaki oleh
Al-Qur’an dan Al-Sunah. Didalam Al-Qur’an, setiap kata iman selalu dibarengin
dengan amal saleh. Allah SWT misalnya berfirman :
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي
خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ. ( سورة العصر ١-٣)
Artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(QS. Al-Ashr (103):1-3).
(QS. Al-Ashr (103):1-3).
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن
ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ
مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
(سورة البقرة ٢٥)
Artinya :“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka
yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan
kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk
mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”(QS.
Al-Baqarah (2):25).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ
جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا. (سورة الكهف ١٠٧)
Artinya : “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi (18):107).
Didalam Hadis
Rasulullah SAW juga dijumpai informasi tentang iman yang dihubungkan dengan
amal saleh. Misalnya Hadis sebagai berikut :
ليس الؤمن الذ ي يشبح وجاره جا ئح. (الأدب الفرد)
Artinya :“Tidaklah disebut sebagai orang yang beriman,
orang yang perutnya kenyang, sedangkan tetangganya berada dala
kelaparan.”(Al-Adab al-Mufrad).
الحيا ء من الإيما ن. (رواه البخا ري)
Artinya : “Bahwa
rasa malu (berbuat buruk) adalah bagian daripada iman.”
(HR. al-Bukhâri).
(HR. al-Bukhâri).
3.
Al-Barra (toleransi kepada Kafir yang tidak memusuhi Islam)
Dalam redaksi hadis
lain Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ،
وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ
سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ
وَابْنُ خُزَيْمَةَ)
Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara
mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi Allah
adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.”[11]
Pada teks hadis di
atas tampak jelas bahwa sebaik-baik insan Muslim adalah dia yang terbaik
mu’amalah (hubungan sosialnya) dengan semua tetangganya, baik tetangga Muslim
maupun non Muslim. Mereka semua harus mendapatkan sentuhan kasih sayang dan
kedamaian. Itulah sebabnya, sejarah
membuktikan bahwa banyak unsur masyarakat yang berdampingan secara damai dengan
Rasulullah, sebelum Madinah dinyatakan sebagai tanah haram (yang tidak boleh
dihuni kecuali oleh Muslim). Rasulullah SAW kala itu bahkan bertetangga dengan
orang Yahudi, Nasrani, dan lain-lain secara damai.
Di samping menjalin
kemesraan dengan non Muslim, Rasulullah SAW juga mengadakan kontak dagang
dengan non Muslim. Bahkan, menurut keterangan sebuah hadis, Nabi SAW sempat
meminjam barang kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya. Klimaks
dari toleransi itu tercatat dalam hadis bahwa Rasulullah SAW melarang umatnya
untuk menyakiti kafir dzimmi, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ
كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ .(أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ فِي تَارِيخِ بَغْدَادٍ)
Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan
menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan
menuntutnya pada hari kiamat.” Hadis ini
diriwayatkan Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Bagdad: 8/370. Hadis ini juga
memiliki dua jalur sanad yang sama-sama lemah.
Dari paparan di
atas, tampak begitu mulianya ajaran Islam di mata internal umat Islam maupun
non Muslim. Ibarat lebah, sekiranya orang tidak menganggunya tentu dia akan
dapat menikmati madunya. Namun sekiranya ada orang yang mengganggunya jangan
disalahkan apabila ia menyengat bahkan mematikan.Itulah gambaran kehadiran umat
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rahmat atau kasih saying itu tidak hanya
dirasakan umat Islam, tapi non Muslim pun juga ikut merasakannya.
Maka hati-hati
memahami hadis yang sekilas dapat difahami keliru sehingga mengidentikkan Islam
sebagai teroris, seperti ‘menghabisi’ non Muslim di jalanan dan lainnya.
Seharusnya hadis-hadis seperti ini difahami secara proporsional. Kajian hadis
di Barat diwarnai dengan teks-teks seperti di atas secara parsial, sehingga
Islam tidak pernah difahami sebagai agama pembawa rahmat (kasih sayang).
Allah SWT
membolehkan kepada umat Islam untuk toleransi dengan mereka yang berbeda
keyakinan (non muslim) yang berbuat baik kepada Islam dan umatnya. Namun, Allah
SWT secara tegas melarang umat Islam toleransi dengan orang kafir yang
melakukan tiga hal :
1.
Tidak ada toleran kepada orang kafir yang telah mengusir umat Islam dari
kampung halamannya (negara umat Islam) seperti negara Palestina, misalnya.
2.
Tidak ada toleran kepada orang kafir yang sudah terang-terangan memerangi
Islam dan umatnya baik dengan membunuh secara fisik kepada umat Islam atau
dengan cara-cara lain yang sudah merusak aqidah Islam.
3.
Tidak ada toleran kepada orang kafir yang telah bersekutu atau meminta
bantuan dengan sesama orang kafir atau sesama muslim yang zalim untuk
menghancurkan Islam dan umatnya.
4.
Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib menyerahkan diri kepada
Allah secara total)
Seorang beriman
wajib berserah diri atau bertawakkal kepada Allah SWT karena dengan sebab
menyerahkan diri dan tawakkal kepada-Nya seseorang dapat meningkatkan
keimanannya dan meraih sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Seorang
muslim beriman juga wajib menerima segala aturan-aturan yang telah
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Sebagian orang
menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali.
Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan
ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan
diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal
yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja,
paling besok ada keajaiban.” Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tawakal
adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan
sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan
bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.”[12]
Perlu diketahui
bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun
juga disertai dengan melakukan usaha. Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan
tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah
yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk
melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena
itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada
Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana
Allah Ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انفِرُوا جَمِيعًا. (سورة النساء ٧١)
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan
pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!”
(QS. An-Nisa (4): 71).
(QS. An-Nisa (4): 71).
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ
لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ. (سورة الأنفال ٦٠)
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya.”
(QS. Al-Anfaal (8): 60).
(QS. Al-Anfaal (8): 60).
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. (سورة الجمعة ١٠)
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah (62): 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga
diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi
mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah
mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela
tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan
keimanan.[13]
Dari Umar bin Al
Khaththab ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda, “Seandainya kalian betul-betul
bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana
burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan
lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi,
dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shohihah no. 310).
Imam Ahmad pernah
ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di
masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku
datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu
(bodoh). Nabi saw telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan
tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana
hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi
pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. [14]
Al Munawi juga
mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali
ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang
memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan
bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan
berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk
mencari rezeki.[15]
C. KESIMPULAN
Dengan keempat ciri
tersebut, maka orang yang beriman adalah orang yang dapat disebut sebagai
mukmin, dan bukan hanya aamanu. Jika baru aamanu, seperti
terdapat pada Al-Qur’an yang menyeru orang-orang yang beriman (yaa ayyuhal
ladzina aamanu), maka ia baru mengakui dan membenarkan adanya Allah SWT,
maka pada panggilan mu’minun, maka ia telah melaksanakan nilai-nilai
keimanan dalam hati, pikiran, perasaan, jiwa dan tindakannya, dan iman tersebut
benar-benar telah mentransformasi ke dalam dirinya. Dari pembahasan diatas kita
dapat tarik kesimpulan dari point-point yang sudah dijelaskan diantaranya :
1.
Al-Muraqabah (mengintip kebajikan)
Seorang
muslim sejati adalah insan yang tak pernah main-main dalam kehidupannya, dia
adalah seorang yang suka berdzikir setiap saat dan senantiasa menjaga lidahnya
dari ucapan yang tidak ada manfaatnya. Dan juga senantiasa menggunakan setiap
waktu yang terluang dengan pekerjaan yang sangat memuaskan hasilnya tanpa
berhura-hura dengan waktu setiap detiknya.
2.
Al-Mu’awanah (tolong menolong)
Orang berilmu
membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan
hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang
membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih,
berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu
semangat orang lain untuk beramal.[16]
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah
‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus
lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang
menentangnya.[17]
3. Al-Barra (toleransi kepada
Kafir yang tidak memusuhi Islam)
Mencintai diri sendiri tidaklah cukup untuk menggambarkan kualitas keimanan
seseorang, melainkan juga harus dibuktikan dengan mencintai semua tetangganya.
Kata “tetangga” dalam teks hadis ini cakupannya bersifat umum, yakni tetangga
sesama Muslim atau tetangga non Muslim. Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW
tidak hanya bertetangga dengan Muslim namun beliau juga bertetangga dengan non
Muslim. Di sekitar Madinah kala itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya.
Mereka sama-sama mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga
punya hak untuk mendapatkan kedamaian.
4.
Taslim lillahi rabbil ‘alamin (wajib
menyerahkan diri kepada Allah secara total)
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja.
Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam
urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan
akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya
seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam
dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id
mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan
hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti
Rasullulah serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah
mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ
حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.( سورة الأنفال ٢-٤)
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah
mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan
yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
(QS. Al-Anfaal (8):2-4).
(QS. Al-Anfaal (8):2-4).
Abduh, Muhammad Tuasikal. Tawakal yang Sebenarnya.
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/tawakal-yang-sebenarnya.html. Diakses
pada tanggal 29 Desember 2013.
Bahreisj, Hussein. Hadits
Shahih Al- Jamius Shahih Bukhari-Muslim. Surabaya : CV Karya Utama.
Hasyim, Badruddin Subky. (2013). Aqidah Islam & Virus-virusnya
yang Merusak Iman.Bogor : Universitas Ibn Khaldun Bogor.
KEMENTERIAN AGAMA RI. (2012). AL-QUR’AN DAN
TERJEMAHNYA. Jakarta : PT. Sinergi Pustaka Indonesia
Minhal, Abu. Perintah Untuk Saling Menolong Dalam
Mewujudkan Kebaikan Dan Ketakwaan. http://almanhaj.or.id/content/2800/slash/0/perintah-untuk-saling-menolong-dalam-mewujudkan-kebaikan-dan-ketakwaan/.
Diakses pada tanggal 29 Desember 2013.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy. AL ISLAM.
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
MZ, Zainuddin. Mengupas Hadis-Hadis Tentang Toleransi.
www.majalahgontor.net/ index.php?option=com_content&view=article&id=412:mengupas-hadis-hadis
-tentang-toleransi&catid=53:hadits&Itemid=110. Diakses pada tanggal 12
Desember 2013.
Nata, Abuddin. (2011). Studi Islam Komprehensif.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
MZ, Labib. Taqwa jalan menuju sukses. Surabaya : Bintang Usaha Jaya.
[1] Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, Op. Cit., hlm. 20.
[2] Lihat W.J.S. Peoerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hlm. 375.
[3] Lihat Nasaruddin Razak, Dienul Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1977), cet. II, hlm. 119.
[4] Dikutip dari Syarh Ihya, II:254.
[5] Syarh Ihya, II:254.
[6] Riwayat Bukhari; lihat, Shahih Bukhari,
I:1
[7] Riwayat Ahmad, Muslim, dan at-Tirmizi;
lihat, al-Ausath, jami’ Shaghir, II:4
[8] Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li
Ahkâmil-Qur‘ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq
al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45.
[11] Riwayat Ahmad: 6566, Turmudzi: 1944,
Ibnu Hibban: 518, Hakim: 1620, Baihaqi: lihat, Syu’abul Iman, 9541,
Sa’id bin Manshur: 2388, ad-Darimi: 2437, Bukhari: lihat, al-Adab al-Mufrad:
115, dan Ibnu Khuzaimah: 2539.
[12] Lihat Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum
wal Hikam, No. 49.
[14] Lihat Maktabah Syamilah, Umdatul
Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69.
[16] Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul
Karîmir Rahmân, hlm. 182
No comments:
Post a Comment